Senin, 04 April 2011

persamaan kedudukan untuk mendapatkan pendidikan

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan, spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Pendidikan biasanya berawal pada seorang bayi itu dilahirkan dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan bisa saja berawal dari sebelum bayi lahir seperti yang dilakukan oleh banyak orang dengan memainkan music dan membaca kepada bayi dalam kandungan dengan harapan ia akan bisa (mengajar) bayi mereka sebelum kelahiran.
Anggota keluarga mempunyai peran pengajaran yang amat mendalam -- sering kali lebih mendalam dari yang disadari mereka -- walaupun pengajaran anggota keluarga berjalan secara tidak resmi.
Persamaan merupakan perwujudan kehidupan didalam masyarakat yang saling menghormati dan menghargai orang lain tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang kehidupan yang beradap serta kehidupan sosial budaya yang terbelakang akan menyebabkan hilangnya "makna persamaan" dan berubah menjadi "diskriminasi".
Pendidikan merupakan hak azasi manusia bahkan pemerintah telah mengaturnya dalam Pasal 31 dan 32 UUD 1945 menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak dan kedudukan yang sama dalam masalah pendidikan dan kebudayaan. Kedua pasal ini menunjukan bahwa begitu konsen dan peduli terhadap pendidikan dan kebudayaan warga negara Indonesia. Setiap warga negara mendapat porsi yang sama dalam kedua masalah ini
 Tidak hanya itu saja Konstitusi kita (UUD 1945) menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh pendidikan, sebagai upaya membangun bangsa. Amanat ini, jelas disebutkan dalam Pasal 28C Ayat 1 UUD 1945. 
Kesetaraa dalam memperoleh pendidikan juga juga diabadikan dalam Pasal 26 Deklarasi Universal HAM dan Pasal 14 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Hak atas pendidikan ini ditegaskan kembali tahun 1960 UNESCO Konvensi melawan Diskriminasi dalam Pendidikan.
Pendidikan dianggap sebagai fungsi publik penting, dan negara sebagai penyedia utama pendidikan melalui alokasi sumber daya anggaran dan mengatur penyediaan pendidikan. Negara kita telah mengimplementasikan melalui program wajib belajar hingga SMP. Mulai tahun 2011, pemerintah bahkan menggratiskan sekolah sampai SMA.
Setiap orang berhak mengembangkan pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
Salah satu usaha pemetintah dalam upaya persamaan untuk pendidikan adalah dengan mencanangkan wajib belajar Sembilan tahun yang dimulai dilaksanakan sejak tahun 1994/1995. Tujuan utamanya adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi di masyarakat yang menuju kearah modernisasi dan industrialisasi, pendidikan dipandang sebagai salah satu faktor utama yang menentukan pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas kerja tenaga kerja terdidik, oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan perluasan dan keadilan untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga Negara
Upaya peningkatan mutu perluasan pendidikan membutuhkan sekurang–kurangnya 3 faktor :
a. Kecukupan sumber–sumber pendidikan dalam arti kualitas tenaga kependidikan, biaya dan sarana belajar.
b. Mutu proses belajar mengajar yang dapat mendorong siswa belajar efektif.
c. Mutu keluaran dalam bentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan, Dan nilai–nilai.
Meski pemerintah sudah menggalakkan kewajiban pendidikan dasar (Dikdas) sembilan tahun, isu kesetaraan jender masih menjadi masalah dalam pemenuhan peramaan kedudukan untuk  mendapatkan pendidikan. Dokrin yang mengatakan bahwa laki-laki lebih mempunyai hak pengenyam pendidikan daripada perempuan di masyarakat menyebabkan angka putus sekolah di kalangan perempuan semakin tinggi bahkan Undang-undang pernikahan membolehkan anak perempuan menikah di usia 16 tahun. Keadaan ini menyumbang tingginya angka drop out (DO) dan disparitas angka partisipasi kasar (APK) perempuan pada pendidikan formal
saat ini fokus pemerintah adalah pada pengembangan pendidikan formal dan terbatas pada usia produktif. "Padahal, pendidikan nonformal dan informal serta pendidikan yang mencakup kalangan usia nonproduktif juga perlu mendapat perhatian. Ini menunjukkan masih ada ketidakkomprehensifan dalam kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah
persamaan kedudukan untuk mendapatkan pendidikan banyak terhalang oleh ekonomi
Dari data lapangan diperoleh informasi bahwa rata–rata tingkat putus sekolah dan tinggal kelas di tingkat dasar cukup tinggi, terutama didaerah pedesaan yang pada umumnya berasal dari keluarga yang pendapatanya rendah, disamping itu terdapat ketimpangan akses antara anak dari keluarga yang berpendapatan tinggi dengan anak dari keluarga yang berpendapatan rendah. Dari data tersebut tampak anak–anak dari keluarga yang kurang mampu cenderung semakin menurun. Persoalan lain terdapat pada pemanfaatan subsidi pendidikan antara anak–anak kota dan desa ada kecenderunga kuat, bahwa anak asal perkotaan memperoleh mafaat yang lebih besar dari subsidi pendidikan.
Dalam dunia pendidikan ada tiga akses yang perlu di perhatikan untuk mewujudkan kesetaraan tersebut yakni kesetaraan akses terhadap fasilitas pendidikan, dalam peranan termasuk pengambilan kebijakan, dan kesetaraan dalam menerima manfaat.

Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh badan penelitian (1995) ditemukan beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pendidikan dasar antara lain :
1.      Meskipun pertumbuhan pendidikan dasar mengalami pertumbuhan yang relatif cepat, tetapi masih tinggi angka putus sekolah dan tinggal kelas.
2.       Dari angkatan kerja indonesia masih berpendidikan SD atau lebih rendah karena tidak tamat dan tiak sempat sekolah.
3.       Pemerataan dalam akses dalam berbagai stratasosial ekonomi menunjukan bahwa terdapat ketimpangan antara murid dari keluarga yang berpendapatan tinggi dan dari keluarga yang berpendapatan rendah.
4.       Anggaran atau biaya dasar segaian besar masih tergantung pada pemerintah pusat, sedangkan peran orang tua dalam menanggung biaya pendidikan masih relatif rendah.


Oleh karena itu, upaya peningkatan kemampuan sekolah untuk meningkatkan prestasi belajar murid merupakan upaya yang paling realistis, kontribusi faktor–faktor sekolah tersebut terhadap peningkatan prestasi belajar inilah yang dimaksud sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan dasar.
Solusi untuk mengatasi masalah kesetaraan pendidikan di atas antara lain Krisis ekonomi dan moneler mengharuskan pengkajian ulangdalam pembiayaan pendidikan. Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka diperlukan faktor–faktor sebagai berikut :
1. Kecukupan sumber–sumber pendidikan untuk menunjang proses pendidikan dalam arti kecukupan dalam jumlah dan mutu guru, buku teks bagi murid dan sarana yang memadaiuntuk itu diperlukan peningkatan anggaran pendidikan.
2. Kualitas manajemen sekolah harus ditingkatkan.
3. Alokasi anggaran lebih di prioritaskan untuk berbagai penyuluhan yang berlangsung menyentuh kebutuhan PBM.
4. Adanya kompetensi lulusan dengan kompetensi kebutuhan tenaga kerja maka perlu dikembangkan budaya mencari kerja menjadi budaya pencipta kerja.
5. peran serta masyarakat perlu ditingkatkan dalam penyelenggaraan pendidikan antara lain dengan mengembangkan mekanisme kerja sama saling menguntungkan bagi peserta didik, lembaga pendidikan, masyarakat dan dunia usaha.
6. Untuk menjembatani kesenjangan dalam kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu dengan melakukan restrukturisasi penerimaan dan pengeluran pendidikan menjadi salah satu prioritas utama yang harus dilakukan.
7. pendidikan dasar merupakan tahapan yang kritis dan awal yang baik dalam upaya pembentukan watak dan kualitas SDM maka diadakan wajib belajar 9 tahun.

Mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan atau berada di daerah terpencil selalu kesulitan mengakses pendidikan, sehingga kualitas pendidikanya sangat rendah
Dengan posisi seperti itu, ,  bagaimana mereka yang miskin dan hidup terpencil mau bersaing meningkatkan taraf ekonominya. Ada perbedaan mencolok antara anak miskin dan yang kaya dalam mendapatkan akses pendidikan.
Kesenjangan, menurutnya, juga terjadi antara mereka yang hidup di kota dengan daerah terpencil. Sebab, mereka yang miskin bersekolah dengan fasilitas apa adanya. Sedangkan yang mampu selalu diunggulkan di sekolah favorit.
Di beberapa tempat  ada sebuah sekolah yang kondisinya sudah miring, beberapa genteng sudah bolong. Dan benar, ketika anak-anak sedang belajar, tiba-tiba terdengar krakk....bruk.. Untung anak-anak dan guru itu segera keluar, karena beberapa saat kemudian atap bangunan roboh.

Di  beberapa tempat pula ada sekolah yang bangunannya kokoh dari beton, bertingkat, memakai AC. Buku-buku yang digunakan sebagian diimpor dari Singapura. Dan tentu, jalan di depan sekolah itu macet tiap pagi dan siang, karena ratusan mobil berderet menjemput anak-anak sekolah.

Di sisi lain, peringkat pendidikan Indonesia terus melorot, entah karena mutu pendidikan yang turun atau negara lain yang terus meningkat kualitasnya. Tapi yang jelas pada akhir 2007, peringkat Indonesia menurut United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), turun dari 58 menjadi 62 di antara 130 negara. Education Development Index Indonesia pada posisi 0,935, Malaysia 0,945 dan Brunei 0,965.


Apa yang kita bicarakan di atas tak lain adalah masalah kesenjangan yang mempengaruhi tercapainya pesamaan kedudukan dalam mendapatkan pendidikan . Dari sisi ekonomi masyarakat, terdapat kesenjangan yang mencolok antara yang kaya dengan yang miskin. Orang kaya jumlahnya makin banyak dan kekayaannya makin banyak pula. Tak mau kalah, jumlah orang miskin pun makin membengkak.
Dari sisi pendidikan pun terdapat kesenjangan, baik antarsekolah, maupun antara prestasi individual dan kondisi pendidikan secara umum. Lihat saja sekolah yang ambruk dengan sekolah yang megah. Tentu di sekolah yang reot itu tidak tersedia perangkat pendidikan yang memadai. Jangankan komputer, buku saja terbatas.

Sebaliknya di sekolah yang megah itu perangkat dan peraga lengkap, semua tersedia. Gurunya pun kemungkinan berkualitas tinggi karena mereka dibayar mahal. Maklum saja, di sekolah megah itu masuknya pun bisa sampai Rp 50 juta, belum bulannya yang satu sampai dua juta.

Kesenjangan pendidikan menjadi makin terlihat manakala kita memelototi hasil ujian nasional (UN). Bagaimana sebuah sekolah di perkotaan, terutama di kota besar yang secara rata-rata jauh lebih baik hasilnya dibanding dengan sekolah di luar jawa, apalagi yang di kota-kota kecil maupun pedalaman.
Dalam kondisi seperti itu, seperti dikatakan pengamamat pendidikan Anita Lie, siswa sepertinya terkotak-kotak sesuai dengan latar belakang sosial-ekonomi, yang dalam hal tertentu juga agama dan etnis. Kondisi ini makin diperparah dengan otonomi daerah yang pada gilirannya memunculkan variasi dan disparitas layanan pendidikan.

kesenjangan pendidikan seperti itu sering  juga kita temui, hanya mungkin kadarnya yang lebih rendah. Dan tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah buat pemimpin baru, bagaimana agar pendidikan maju tanpa menciptakan kesejangan baru, bahkan sudah seharusnya kesenjangan itu makin dipersempit.
Jika kesenjangan kesenjangan di atas tidak dapat di atasi  akan sulit untuk semua pihak untuk mendapatkan pesamaan kedudukan unruk mendapatkan pendidikan
menekankan pentingnya menghapus segala bentuk diskriminasi dan ekslusifitas di lingkup Pendidikan Tinggi kita. Penting sekali penekanan Pendidikan Tinggi untuk semua, tidak atas dasar latar belakang apa pun. Begitu jika kita berharap Perguruan Tinggi (PT) merupakan upaya peningkatan daya saing bangsa,





Tidak ada komentar:

Posting Komentar